Tampak lesu ku lihat kau
Seakan enggan
Kau menantang
Padahal,
Kicau meriah burung gereja
Sinar panas buat kau
Berkeringat , lesu
Mungkin karena angin
Tak menerpamu
Atau memang karena
kau tak ingin angin
Menerpamu, penuh tanya
Ksatria yang renta
Tak jarang ku terbayang
Bila kau punya air mata
Sarat tanya dalam dada
Untuk apa kau jatuhkan
Mungkin
Melihat kami disini
Tak seperti hari-hari
Saat kau masih suci
Hari ini, kami di bawah
Mentari,
Memandang kau penuh suci
Keringat menetes, terus sampai
Ujung kaki
Berat mungkin saat itu
Lebih panas dari ini
Ku terbayang bila kau
Punya hati
Mungkin darah keluar
Dari dadamu
Mendengar kami
Langkah pecundang
Untukmu benderaku
Terus kibar semangatmu
Pecinta Puisi
Blog ini di buat dengan tujuan sebagai luapan perasaan hati dan fikiran. Semoga pembaca bisa terinspirasi.
Selamat Membaca !!!! Jangan Lupa Komentarnya !! Agar dapat lebih baik dari sebelumnya .
Minggu, 06 Mei 2012
Jumat, 30 Maret 2012
Ujung Teritorial
Pertama terlihat
Tak jarang terombang-ambing
Pergi keseberang
Penyambut yang datang
Ujung teritorial
Angin kencang , pertama ia rasakan
Deru suara ombak menyeruak
Pertama ia diterjang
Tidak bisa menyerang
Kulit lapis baja
Wajahku ada disana
Wajah teman-temanku pun berkumpul disana
Topeng penguasaku nampak jelas
Pertama dan selamanya pertama
Mata tertusuk
Melihat penduduk gerbang utama
Kayu yang rapuh
Genteng tak kedap air
Ku tahu kau lelah ,Nak !
Seberangi sungai ,gunung kau daki
Sambil bersiul denting nada nasional
Lelahmu genggam bendera
Entah buta atau tuli
Entahlah !
Mungkin nyenyak kau disana
Duduk di kursi 1 Milyar
Mungkin kau nyenyak disana
Dingin dan tak ada nyamuk
Bangun!
Jangan lama kau terlelap
Masih tak terhitung jembatan yang ambruk
Pendidikan yang 321
Turun gunung tenggelam sampai lembah
Kami terisolir !
Kami masih dalam cengkraman garuda
Pancasila hiasan tunggal dinding kami
Bangun kawan!
Setitik harapan ujung teritorial
Tak jarang terombang-ambing
Pergi keseberang
Penyambut yang datang
Ujung teritorial
Angin kencang , pertama ia rasakan
Deru suara ombak menyeruak
Pertama ia diterjang
Tidak bisa menyerang
Kulit lapis baja
Wajahku ada disana
Wajah teman-temanku pun berkumpul disana
Topeng penguasaku nampak jelas
Pertama dan selamanya pertama
Mata tertusuk
Melihat penduduk gerbang utama
Kayu yang rapuh
Genteng tak kedap air
Ku tahu kau lelah ,Nak !
Seberangi sungai ,gunung kau daki
Sambil bersiul denting nada nasional
Lelahmu genggam bendera
Entah buta atau tuli
Entahlah !
Mungkin nyenyak kau disana
Duduk di kursi 1 Milyar
Mungkin kau nyenyak disana
Dingin dan tak ada nyamuk
Bangun!
Jangan lama kau terlelap
Masih tak terhitung jembatan yang ambruk
Pendidikan yang 321
Turun gunung tenggelam sampai lembah
Kami terisolir !
Kami masih dalam cengkraman garuda
Pancasila hiasan tunggal dinding kami
Bangun kawan!
Setitik harapan ujung teritorial
Rabu, 18 Januari 2012
Hai ! Muka Tembok
Hai ! Muka tembok
Kerasnya sekeras hatimu
Acuhnya melebihi mukamu
Padahal komposisi pembuat tembokmu dari bahan yang terpilih
Dari duaratus lima puluh juta material terbaik
Berharap tidak lah hanya perisai menjaga kedaulatan
Tetapi , meleleh dan membaur
Menengahkan gejolak dalam
Itu harapan butir pasir yang terbuang
Harapan secarik debu yang menempel
Tak dianggap
Ku dengar merdu rintihan mereka
Bergelombang kopi yang ku tenggak
Mereka pernah hancurkan tembok kokoh tahun 1998
Hai ! Muka tembok
Kokohnya sekokoh sombong hatimu
Ku yakin
Berlapis kau coba bertahan
Rapuh dan hancur
Kembali menjadi debu
Hai ! Muka tembok
Kerasnya sekeras hatimu
Acuhnya melebihi mukamu
Padahal komposisi pembuat tembokmu dari bahan yang terpilih
Dari duaratus lima puluh juta material terbaik
Berharap tidak lah hanya perisai menjaga kedaulatan
Tetapi , meleleh dan membaur
Menengahkan gejolak dalam
Itu harapan butir pasir yang terbuang
Harapan secarik debu yang menempel
Tak dianggap
Ku dengar merdu rintihan mereka
Bergelombang kopi yang ku tenggak
Mereka pernah hancurkan tembok kokoh tahun 1998
Hai ! Muka tembok
Kokohnya sekokoh sombong hatimu
Ku yakin
Berlapis kau coba bertahan
Rapuh dan hancur
Kembali menjadi debu
Hai ! Muka tembok
Rabu, 28 Desember 2011
Hingar Bingar Kesepian
Aku duduk termangu
Menatap tatapan kosong
Di luar bising knalpot
Bagai patung di museum,
Tak' ku dengar semua
Beranjak langkahkan kaki ke ruang tamu
Menenggak segelas susu
Ku nyalakan televisi dan ku dengar
polemik negeri ini
Tak' henti angin di lautan
Aku ganti saluran
Lihat kisah di balik mewah
Dia membawa buntalan
Bila dijual , uang didapat
tuk' panjangkan hidup
Aku ganti saluran,
Pindah saluran,
Dari satu sampai duabelas
Berulang-ulang
Akhirnya
Ku tekan tombol merah
Ingin keluar hirup udara
Tetapi, udara sudah kotor
Berbaring kepalaku di kasur
Terlelap dan tenang
Dengar ribut berdebat
Buka mata sedikit ku usap
Beranjak,
Ku lihat , ternyata
Pemimpin negeri ini
Lagi, berkicau
Hari ini cerah, langit biru
Tetapi , nyawaku entah kemana
pergi,
Jauh tinggalkan raga
sunyi
Menatap tatapan kosong
Di luar bising knalpot
Bagai patung di museum,
Tak' ku dengar semua
Beranjak langkahkan kaki ke ruang tamu
Menenggak segelas susu
Ku nyalakan televisi dan ku dengar
polemik negeri ini
Tak' henti angin di lautan
Aku ganti saluran
Lihat kisah di balik mewah
Dia membawa buntalan
Bila dijual , uang didapat
tuk' panjangkan hidup
Aku ganti saluran,
Pindah saluran,
Dari satu sampai duabelas
Berulang-ulang
Akhirnya
Ku tekan tombol merah
Ingin keluar hirup udara
Tetapi, udara sudah kotor
Berbaring kepalaku di kasur
Terlelap dan tenang
Dengar ribut berdebat
Buka mata sedikit ku usap
Beranjak,
Ku lihat , ternyata
Pemimpin negeri ini
Lagi, berkicau
Hari ini cerah, langit biru
Tetapi , nyawaku entah kemana
pergi,
Jauh tinggalkan raga
sunyi
Jumat, 02 Desember 2011
Lihat Biru Langit Mereka Menjerit
Disini kita makan berlian
Mereka hanya makan umbian
Disini kita bermandikan kemewahan
Mereka hanya berbalutkan secarik kesederhanaan
Tidak terdengar amarah
Bahkan dibalas ramah
Mereka lebih kaya, ribuan batang emas pun hanya sekedip mata
Mereka menyimpan semua
Sawah berbicara kepada kita
Semburan mutiara tidak terhitung butir
Banjir rumah mereka penuh minyak
Semua mungkin hanya khayal belaka
Ketika bertatap muka dengan mereka
Hitam kulitnya dengan perut yang buncit
Biaskan pandangan kita
Langit mereka biru
Tanah mereka emas
Mereka hanya makan umbian
Disini kita bermandikan kemewahan
Mereka hanya berbalutkan secarik kesederhanaan
Tidak terdengar amarah
Bahkan dibalas ramah
Mereka lebih kaya, ribuan batang emas pun hanya sekedip mata
Mereka menyimpan semua
Sawah berbicara kepada kita
Semburan mutiara tidak terhitung butir
Banjir rumah mereka penuh minyak
Semua mungkin hanya khayal belaka
Ketika bertatap muka dengan mereka
Hitam kulitnya dengan perut yang buncit
Biaskan pandangan kita
Langit mereka biru
Tanah mereka emas
Setetes Keringat Garuda
Ada yang bersaut padaku
Tentang lelahnya punggungmu
Pikul rantai api, acuh yang kau dapati
Aku tahu tenggorokanmu haus
Haus terasa tandus
Menahan atmosfir panas
Ada yang bercerita kepadaku
Melihat kau terseok , menopang
Sayapmu luka tersayat
Aku sadar perutmu kosong
Ingin diisi keseimbangan
Ada yang membisikkan kepadaku
Paruh dan cengkramanmu tumpul
Sorot matamu hanya setajam pensil
Setiap hari kau dianggap suci , tetapi itu dahulu
Saat gagah dadamu ,ciutkan nyali dunia
Kepakkanmu getarkan semangat membara
Tentang lelahnya punggungmu
Pikul rantai api, acuh yang kau dapati
Aku tahu tenggorokanmu haus
Haus terasa tandus
Menahan atmosfir panas
Ada yang bercerita kepadaku
Melihat kau terseok , menopang
Sayapmu luka tersayat
Aku sadar perutmu kosong
Ingin diisi keseimbangan
Ada yang membisikkan kepadaku
Paruh dan cengkramanmu tumpul
Sorot matamu hanya setajam pensil
Setiap hari kau dianggap suci , tetapi itu dahulu
Saat gagah dadamu ,ciutkan nyali dunia
Kepakkanmu getarkan semangat membara
Selasa, 27 September 2011
Arah
Berjalan santai ke ufuk timur
Langkah dipercepat menuju pusat khatulistiwa
Linglung melihat perdelapan jalan
Mulai panik, keringat mengucur
Tersesat tidak tau arah
Bekalpun tidak disiapkan
Mereka tahu esok banyak cobaan
Masih saja berjalan dada busung
Arah, arah,arah
Selalu terngiang di telinga
Sering tersesat, jauh
Padahal, tujuan jelas terang
Sampai akhir nafas
Bekal urung disiapkan
Jerit penyesalan
Getarkan akar pepohonan
Langkah dipercepat menuju pusat khatulistiwa
Linglung melihat perdelapan jalan
Mulai panik, keringat mengucur
Tersesat tidak tau arah
Bekalpun tidak disiapkan
Mereka tahu esok banyak cobaan
Masih saja berjalan dada busung
Arah, arah,arah
Selalu terngiang di telinga
Sering tersesat, jauh
Padahal, tujuan jelas terang
Sampai akhir nafas
Bekal urung disiapkan
Jerit penyesalan
Getarkan akar pepohonan
Rabu, 11 Mei 2011
550 Punggawa Rakyat Jelata ( dikala keadilan diperjualbelikan )
Tersaring lebih dari 250 juta kepala
Merasa bangga mewakilkan bangsa
Beratus juta kertas dihamburkan
Tak jarang cara curang di terjang
Berlindung dalam tempurung
Dalamnya megah kursi mewah
Tak sedikit rasa malu
Habis darah terhisap benalu
Tempurungmu pelndungmu
Kau seenaknya tutup dosamu
Kami tak percaya katamu
Manis di telinga, membunuh kalbu
Duduk bersama bagai arisan
Saat pidato tidur keenakan
Tak betah dirumah sendiri
Berbincang saja kesana kemari
Ditambah lagi konstruksi gedung tinggi
Semakin berat beban negri
Ibuku bilang, bos ayahku berpesan
Kerja dahulu baru dapat makan
Punggawa keadilan membangkang
Kalau tak makan tak ada keputusan
Sudah kenyang, jalan sempoyongan
Akhirnya ya.... ketiduran
Ruangan dingin , nyamuk enggan
Kepala naik turun, mata kunang - kunang
Sejenak kau berkuasa
Brankas rusak simpan uangmu
Mengapa tak mau berbagi
Jikalau itu terjadi
Damailah negri ini
Merasa bangga mewakilkan bangsa
Beratus juta kertas dihamburkan
Tak jarang cara curang di terjang
Berlindung dalam tempurung
Dalamnya megah kursi mewah
Tak sedikit rasa malu
Habis darah terhisap benalu
Tempurungmu pelndungmu
Kau seenaknya tutup dosamu
Kami tak percaya katamu
Manis di telinga, membunuh kalbu
Duduk bersama bagai arisan
Saat pidato tidur keenakan
Tak betah dirumah sendiri
Berbincang saja kesana kemari
Ditambah lagi konstruksi gedung tinggi
Semakin berat beban negri
Ibuku bilang, bos ayahku berpesan
Kerja dahulu baru dapat makan
Punggawa keadilan membangkang
Kalau tak makan tak ada keputusan
Sudah kenyang, jalan sempoyongan
Akhirnya ya.... ketiduran
Ruangan dingin , nyamuk enggan
Kepala naik turun, mata kunang - kunang
Sejenak kau berkuasa
Brankas rusak simpan uangmu
Mengapa tak mau berbagi
Jikalau itu terjadi
Damailah negri ini
Sedikit Dariku , Untuk Guruku
Keringatmu menetes basahi langkahmu
Bangun sebelum mentari tersenyum
Dengan penuh harapan, memaksa kesanggupan
Tatkala kau terkapar kesakitan
Ucapan terima kasih tak cukup
Trilyunan uang tak akan terbayar
Ribuan batang emas tak bisa memewahkan
Dibandingkan untuk setetes keringatmu yang jatuh
Keringat yang untuk kami
Menyegarkan sanubari
Ilmu yang kau turunkan
Tak akan kami sia-siakan
Berikan kelapangan hati , guru..
Berikan tutur lembut manismu, guru..
Limpahkan ilmu untuk kami, guru..
Elus kami dengan kasihmu, guru..
Presiden anak didikmu
Sarjana cucu darimu
Para ilmuan anak buahmu
Semuanya berasal darimu, guru..
Sedikit dariku , guruku
Yang jauh tak akan membayar jasamu
Ikhlaskan , doakan dan tuntun kami
Kami serayakan lantunan doa kepada Tuhan
Bangun sebelum mentari tersenyum
Dengan penuh harapan, memaksa kesanggupan
Tatkala kau terkapar kesakitan
Ucapan terima kasih tak cukup
Trilyunan uang tak akan terbayar
Ribuan batang emas tak bisa memewahkan
Dibandingkan untuk setetes keringatmu yang jatuh
Keringat yang untuk kami
Menyegarkan sanubari
Ilmu yang kau turunkan
Tak akan kami sia-siakan
Berikan kelapangan hati , guru..
Berikan tutur lembut manismu, guru..
Limpahkan ilmu untuk kami, guru..
Elus kami dengan kasihmu, guru..
Presiden anak didikmu
Sarjana cucu darimu
Para ilmuan anak buahmu
Semuanya berasal darimu, guru..
Sedikit dariku , guruku
Yang jauh tak akan membayar jasamu
Ikhlaskan , doakan dan tuntun kami
Kami serayakan lantunan doa kepada Tuhan
Rabu, 09 Maret 2011
Keadaan Paru-Paru Negeri Permadani
Lampu penerang bumi
Pancarkan terang sinarnya
Terlihat setapak jalan hitam
Panjang terbentang di kota ini
Gajah berkaki enam berjalan perlahan
Kuda kaki dua berlari kencang
Badak berkulit baja ikut berjalan
Tak jarang saling bersenggolan
Burung besi menghias udara
Getek berbaling arungi samudra
Ular tercepat melata di besi
Menghias kemewahan tempat ini
Banyak kotoran terbuang
Dihirup oleh makhluk kecil tanpa daya
Mengubah aroma busuk
Terpaksa di hirup
Lihat negeri permadani
Cahayanya redup tertutup kabut
Balok setinggi awan
Kokoh tegak menawan
Jangan tambah kerusakan negeri
Dengan seenaknya , hancurkan permadani
Jaga permata ini
Untuk raja dan bayi kecil nanti
Pancarkan terang sinarnya
Terlihat setapak jalan hitam
Panjang terbentang di kota ini
Gajah berkaki enam berjalan perlahan
Kuda kaki dua berlari kencang
Badak berkulit baja ikut berjalan
Tak jarang saling bersenggolan
Burung besi menghias udara
Getek berbaling arungi samudra
Ular tercepat melata di besi
Menghias kemewahan tempat ini
Banyak kotoran terbuang
Dihirup oleh makhluk kecil tanpa daya
Mengubah aroma busuk
Terpaksa di hirup
Lihat negeri permadani
Cahayanya redup tertutup kabut
Balok setinggi awan
Kokoh tegak menawan
Jangan tambah kerusakan negeri
Dengan seenaknya , hancurkan permadani
Jaga permata ini
Untuk raja dan bayi kecil nanti
Langganan:
Postingan (Atom)